Ganti Rugi dalam Pelayanan Publik


Ganti Rugi dalam Pelayanan Publik

 Masyarakat berhak menuntut ganti rugi dalam pelayanan publik jika mengalami maladministrasi. Pemberian ganti rugi kepada masyarakat sebagai bentuk perlindungan dari tindakan sewenang-wenang pemerintah. Selain itu, pemberian ganti rugi merupakan bentuk tanggung jawab negara kepada publik, apabila terdapat kerugian materiil yang dialami masyarakat. Namun, implementasi ganti rugi susah dijalankan, dikarenakan tidak ada peraturan turunannya. Kemauan poltik dari pemerintah masih belum berpihak pada masyarakat.

Buktinya, hampir 13 tahun setelah terbit Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Presiden mengenai mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi, belum diterbitkan. Padahal, amanahnya, ketentuan tersebut harus ditetapkan paling lambat enam bulan sejak Undang-Undang Pelayanan Publik diundangkan.

Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Pelayanan Publik, memberikan peluang bagi masyarakat untuk menuntut ganti rugi, apabila mendapatkan pelayanan yang buruk. Timbulnya tuntutan ganti rugi bisa disebabkan oleh penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan. Pendek kata, ada tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara layanan.

Sejatinya, tuntutan ganti rugi masyarakat dapat diajukan apabila nyata-nyata disebabkan adanya tindakan maladministrasi dari penyelenggara. Tindakan tadi menimbulkan kerugian materiil yang nyata dari masyarakat. Misalnya masyarakat yang dipungut biaya di luar ketentuan oleh petugas, malpraktik yang dilakukan petugas kesehatan, adanya kesalahan perhitungan tagihan listrik atau PDAM, pegawai yang dimutasi tanpa prosedur yang benar, sehingga tidak bisa memperoleh tunjangan yang semestinya didapat.

Syarat pemberian ganti rugi hanya dapat diberikan apabila pengaduan dari masyarakat yang disampaikan kepada penyelenggara, memuat tuntutan ganti rugi. Kemudian, terdapat penyimpangan atau ketidaksesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan, adanya kerugian materiil dan penerima pelayanan telah memenuhi kewajibannya untuk melengkapi ketentuan dalam pelayanan. Ketidaksesuaian pelayanan disebabkan oleh pelaksana dengan sengaja atau lalai.

Tuntutan dari masyarakat terkait ganti rugi, belum tentu sepenuhnya dikabulkan. Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Pelayanan Publik, memberikan perlindungan kepada penyelenggara pelayanan untuk dibebaskan dari pembayaran ganti rugi, apabila dapat membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak menimbulkan kerugian.

Tuntutan ganti rugi hanya dapat diajukan oleh masyarakat, apabila mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas) dari perbuatan penyelenggara yang merugikan serta dapat membuktikan besaran kerugian yang dialami dan diterima oleh penyelenggara. Jenis ganti rugi yang diberikan bisa berupa uang, atau kompensasi terhadap layanan yang diberikan. Dengan demikian, maka ada kewajiban bagi penyelenggara untuk menyediakan anggaran ganti rugi melalui APBN/APBD atau melalui anggaran BUMN/BUMD. Jika tidak mencukupi, maka bisa dianggarkan pada tahun  berikutnya.

Oleh karena itu, adanya dasar hukum yang mengatur mengenai mekanisme pembayaran ganti rugi dalam pelayanan publik, sangat penting untuk diterbitkan. Mengingat hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Di sisi lain, adanya payung hukum bagi penyelenggara untuk membayar tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh masyarakat. Saat ini, penyelenggara tidak memiliki anggaran khusus untuk membayar jika ada tuntutan ganti rugi. Ini dikarenakan tidak adanya aturan turunan yang mengatur mengenai hal mekanisme pembayarannya.

Ajudikasi Khusus

Selain kepada penyelenggara, tuntutan ganti rugi juga dapat diajukan melalui Ajudikasi Khusus yang dilakukan oleh Ombudsman RI. Dalam Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 tentang Mekanisme dan Tata Cara Ajudikasi Khusus, dijelaskan bahwa ajudikasi adalah proses penyelesaian ganti rugi atas sengketa pelayanan publik yang diputus oleh Ombudsman. Sedangkan Ajudikasi Khusus merupakan ajudikasi yang hanya terkait dengan penyelesaian ganti rugi, jika laporan tersebut ditemukan maladministrasi.

Sebelum dilakukan Ajudikasi Khusus, maka proses penyelesaian tuntutan ganti rugi, harus terlebih dahulu diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliasi oleh Ombudsman. Jika tidak sepakat, maka baru dilakukan Ajudikasi Khusus.

Dalam melakukan Ajudikasi Khusus, Ombudsman akan melakukan serangkaian pemeriksaan, meminta keterangan kedua belah pihak, meminta keterangan saksi dan ahli, hingga melakukan pemeriksaan setempat ke objek layanan publik.

Putusan Ajudikasi Khusus bersifat final, mengikat dan wajib dilaksanakan oleh penyelenggara dalam waktu paling lama 60 hari. Putusan Ajudikasi Khusus, juga disampaikan kepada atasan penyelenggara, DPR dan presiden. Jika tidak dilaksanakan, maka penyelenggara akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan.

Tentu tidak mudah memberikan ganti rugi kepada masyarakat. Pasti ada tantangannya. Salah satunya adalah kesulitan dalam pembuktian mengenai kerugian yang nyata-nyata dialami oleh masyarakat. Misalnya dalam kasus adanya pemadaman listrik oleh PLN selama beberapa jam   Tentunya banyak kerugian yang diderita oleh masyarakat. Tuntutan ganti rugi dari masyarakat, juga harus mempunyai batasan yang jelas. Sehingga penyelenggara tidak mengalami "kerugian", karena terlalu banyak mengeluarkan biaya ganti rugi.

Maka dari itu, unsur kesengajaan(dolus) atau kelalaian(culva) dari petugas, yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat, bisa dijadikan patokan untuk membayar ganti rugi. Ganti rugi hanya akan dibayarkan apabila disebabkan adanya unsur sengaja/lalai dari petugas. Pelayanan yang terganggu, karena disebabkan karena ganguan sistem/alat, tidak bisa dibebankan kepada penyelenggara.

Adanya ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat, tujuannya untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sebagai kompensasi atas layanan buruk yang diterima. Di sisi lain, penyelenggara semakin terpacu untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Petugas dalam memberikan pelayanan akan lebih cermat, bersikap adil dan hat-hati. Karena selain sanksi, ada keharusan untuk membayar ganti rugi, jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai standar pelayanan dan merugikan masyarakat.

Oleh karena itu, maka penting bagi penyelenggara untuk melakukan tata kelola pelayanan agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Pertama, dalam menyusun standar pelayanan, maka penting untuk melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan tuntutan atau harapan masyarakat dengan kemampuan penyelenggara. Kedua, mempublikasikan standar pelayanan. Standar pelayanan yang dipublikasikan merupakan bentuk transparansi pelayanan. Dengan adanya transparansi ini, maka mengecilkan kemungkinan untuk petugas melakukan penyimpangan pelayanan. Ketiga, pengelolaan pengaduan. Penyelenggara pelayanan publik, wajib menyediakan sarana dan prasarana pengaduan dan menindaklanjuti pengaduan yang masuk. Keempat, perlu adanya pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas SDM pelayanan, sehingga dapat memberikan pelayanan dengan prima.

Akhirnya, kita semua berharap, agar rancangan Peraturan Presiden mengenai mekanisme tuntutan ganti rugi, segera diterbitkan, sebagai perlidungan dan kepastian hukum dalam pelayanan publik, yang berujung pada peningkatan kualitas pelayanan publik di negara ini.


Sopian Hadi, Kepala Keasistenan Penerimaan dan Verifikasi Laporan Perwakilan Ombudsman RI Kalsel

Post a Comment

Previous Post Next Post